Pertumbuhan dan morfogenesis tanaman secara in vitro (kultur jaringan) dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi dari zat pengatur tumbuh yang berada dalam eksplan dan akan menentukan arah dari pengembangan kultur. Zat pengatur tumbuh pada eksplan tergantung dari zat pengatur tumbuh endogen dan zat pengatur tumbuh eksogen, yang diserap dari media tumbuh (Tuhuteru et. al., 2012).
Di dalam kultur jaringan morfogenesis dari eksplan selalu tergantung dari interaksi antara auksin dan sitokinin. Dan dilihat dari kombinasi yang ada bahwa kebutuhan terhadap auksin eksogen adalah pada taraf yang rendah, ini diduga karena eksplan yang merupakan tunas yang sedang berkembang dapat memproduksi auksin yang cukup untuk memacu perakaran. Hal ini sesuai dengan literatur Evan et al. (1986) yang dikutip oleh Sobardini et. al. (2006) yang menyatakan bahwa tunas yang sedang berkembang dapat memproduksi auksin dalam jumlah yang cukup untuk perakaran maka penambahan auksin eksogen tidak diperlukan. Ini dapat dilihat dari kombinasi yang tanpa pemberian NAA eksplan dapat menginisiasi pertumbuhan akar (Rozaliana, 2013).
Perubahan tekstur kalus yang semakin remah ini menunjukkan terjadinya poliferasi massa sel dalam kalus. Penggunaan NAA pada semua konsentrasi yang diaplikasikan menghasilkan kalus dengan tekstur remah (friable). Kalus dengan tekstur remah merupakan kalus yang terbentuk dari sekumpulan sel yang mudah lepas. Struktur kalus remah sangat berkorelasi dengan kecepatan daya tumbuh kalus sehingga produksi metabolit sekunder tertentu yang ingin diperoleh lebih cepat dicapai (Fatimah, 2010).
Tekstur kalus tergantung pada jaringan, umur kalus, dan kondisi pertumbuhan. Morfologi dan warna kalus biasanya tergantung dari jenis sumber eksplannya, dimana ada yang bertekstur remah (friable), kompak atau padat, sedangkan warna kalus biasanya mengikuti warna jenis sumber eksplan. Hal lain yang mempengaruhi morfologi dan pertumbuhan kalus diantaranya adalah sumber eksplan, komposisi media, ZPT yang digunakan, kondisi pertumbuhan seperti suhu dan cahaya, serta lamanya waktu pertumbuhan kalus (Mahadi et al, 2014). Biomassa Kalus
Biomassa yang dihasilkan pada kultur jaringan sangat tergantung pada kecepatan sel-sel tersebut membelah diri, memperbanyak diri yang dilanjutkan dengan pembesaran sel. Kecepatan sel membelah dapat dipengaruhi oleh adanya kombinasi auksin-sitokinin tertentu dalam konsentrasi yang tertentu tergantung pada tanamannya, juga faktor-faktor luar seperti intensitas cahaya dan temperatur (Wattimena et.al.., 1992).
Biomassa kalus adalah bobot yang didapat pada kalus dengan pemberian zat pengatur tumbuh. (Puteri et al., 2014) menyimpulkan bahwa perbedaan tersebut memiliki pengaruh yang berbeda terhadap eksplan yang ditanam pada media MS yang dimodifikasi dengan pemberian konsentrasi zat pengatur tumbuh NAA dan BAP yang berbeda dan terdapat sifat determinasi yang berbeda dari setiap sel eksplan. Pengaruh tersebut terlihat pada biomassa kalus yang ditimbang dari masing-masing perlakuan.
Metabolit Sekunder
Metabolit sekunder adalah senyawa produk atau hasil metabolisme sekunder. Metabolit sekunder memanfaatkan metabolit primer pada awal dalam jalur metabolismenya. Metabolit sekunder meski tidak sangat penting bagi eksistensi suatu makhluk hidup tetapi sering berperan sebagai pertahanan bagi makhluk itu sendiri. Metabolit sekunder umumnya terdapat pada tumbuhan dan sebagian mikroba yang tergolong pada sel tumbuhan (Subarnas, 2011).
Produk metabolisme detoksifikasi ini diduga akibat kemampuan tumbuhan menghasilkan senyawa kimia sebagi senjata untuk mempertahankan diri dari serangan hama dan faktor lingkungan yang hampir terjadi semua pada tumbuhan. Jenis senyawa metabolit sekunder yang dimetabolisme tergantung pada faktor biogenetik tumbuhan tersebut. Senyawa kimia tersebut seperti alkaloid, flavonoid, triterpenoid, tanin, dan saponin. Senyawa-senyawa inilah yang berperan sebagai bahan aktif yang dapat kemungkinan dapat menghambat pertumbuhan bakteri A. hydrophyla. Menurut Jawetz et al. (2001) pertumbuhan bakteri yang terhambat atau kematian bakteri akibat suatu zat antibakteri dapat disebabkan oleh penghambatan terhadap sintesis dinding sel, penghambatan terhadap fungsi membran sel, penghambatan terhadap sintesis protein, atau penghambatan terhadap sintesis asam nukleat (Darminto et al., 2009).
Antosianin
Zat warna (pigmen) ini larut dalam air dan warnanya oranye, merah dan biru. Secara alami terdapat dalam anggur, stawberry, rasberry, apel, bunga ros, dan tumbuhan lainnya. Biasanya buah-buahan dan sayuran warnanya tidak hanya ditimbulkan oleh satu macam pigmen antosianin saja,tetapi kadang-kadang sampai 15 macam pigmen seperti pelargonidin, sianidin, peonidin dan lain-lain yang tergolong glikosida-glikosida antosianidin (Koswara,2009).
Kandungan pigmen antosianin pada daun yang berwarna hijau tua ternyata lebih besar daripada kandungan pigmen antosianin pada daun yang berwarna merah. Hal ini dikarenakan daun hijau adalah daun yang paling dominan dan daun ini merupakan daun yang paling tua dan tumbuh diawal, sehingga kadar pigmen pigmen lain dan juga pigmen antosianin cukup besar pada daun yang berwarna hijau daripada daun yang berwarna merah. Tetapi kandungan pigmen antosianin ini tidak lebih besar dari kandungan klorofil, termasuk pada daun yang berwarna merah. Baik pada daun yang berwarna hijau maupun pada daun yang berwarna merah, kandungan antosianinnya lebih rendah dan kandungan klorofilnya lebih tinggi. Hal ini dikarenakan klorofil merupakan pigmen utama yang ada pada seluruh tanaman, sehingga meskipun daunnya berwarna merah, tidak berarti bahwa daun tersebut memiliki pigmen antosianin yang dominan, tetapi pigmen yang dominan tetap klorofil (Maulid dan Laily, 2015).
Identifikasi dilakukan dengan mengukur serapan maksimum berdasarkan rentang panjang gelombang 200-800 nm menggunakan alat spektrofotometer UV- Vis. Panjang gelombang tersebut dipilih mengingat antosianin memiliki serapan maksimum antara panjang gelombang 270-560 nm (Harborne, 1987; Markham
1988). Fraksinat hasil elusi kedua (E2) yang digunakan untuk identifikasi adalah vial 1-3 untuk mengetahui kandungan antosianin pada fraksinat awal yang berwarna pudar, vial 4-6 untuk mengetahui kandungannya pada fraksinat dengan warna merah keunguan yang paling pekat. Vial 18 digunakan sebagai perwakilan dari fraksinat terakhir yang diperoleh untuk proses identifikasi tersebut (Sadiyah dan Kodir, 2012).
Stabilitas warna yang ditunjukkan oleh nilai absorbansi sangat dipengaruhi oleh nilai pH. Semakin merah warna rosella, maka nilai pada kadar antosianin yang terekstrak. absorbansi semakin tinggi. Pada pH 1 nilai absorbansinya lebih tinggi kemudian terjadi penurunan hingga pH 4, dan pada pH 5 tidak terjadi penurunan lagi. Hal ini disebabkan karena antosianin merupakan zat warna merah yang stabil pada pH rendah, dan stabilitasnya akan turun apabila pH dinaikkan (Winarti dan Firdaus, 2010).
Belum ada tanggapan untuk "Zat Pengatur Tumbuh "
Post a Comment